Senin, 11 Februari 2019 14:38

OPINI : "MATA UANG"

Oleh : Dr. Fuad Madarisa

(31/01/2019) Serupa dengan mata uang lain, dollar ialah alat tukar dalam transaksi ekonomi. Memang, seperti lira, pound sterling, ringgit, rupee, dan rupiah, peran dollar mempermudah aktivitas ekonomi. Setidaknya, begitulah pelajaran ekonomi sekolah menengah.

Hanya saja, menurut Anees Ahmed (Daily Sabah 09/01/2019), dollar memainkan peran hegemoni dalam sistem keuangan. Sesuai sistem Bretton Woods (Juli 1944), dollar-emas mendominasi keuangan global, yang mengganti standar emas saja. Dollar jamak berguna pada perdagangan dunia. Tiket pesawat haji dan menjual produksi dalam negeri merupakan teladan mempergunakan dollar. Seolah mata uang ini berubah menjadi produk ekonomi, bukan sekedar alat tukar lagi. Meski, muncul Bank Pembangunan Dunia Baru dan BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan). Sehingga belakangan ini, perang dingin bukan lagi berbasis ideologi, melainkan blok ekonomi.

Pada banyak kasus, peran dollar dominan, malah sebagai ‘ujung tombak’. Anees menulis; “The U.S. has access to the data of SWIFT transactions, which allows it to monitor global financial transactions and to deter any challenges that may harm its national interests. Any country trying to challenge the dollar and shifting to other alternatives is punished severely, particularly in recent history”.

Memang, peran sentral dollar bukannya tanpa tantangan. Kemunculan Euro, jual beli minyak Irak zaman Saddam Husein, dan sanksi ekonomi pada sejumlah negara ialah contohnya. Sesudah Libya, Arab Saudi dan Turki, terakhir ini menimpa Venezuela.

Kemudian, dampak yang terasa adalah dari sistem nilai tukar. Terutama dalam perspektif kronologis. Bandingkan harga ternak dan produk seperti daging, susu dan telur dalam rupiah, beberapa dekade yang lalu. Bandingkan juga dengan alat tukar dollar. Apalagi membanding dengan basis emas.

Soalnya adalah inflasi. Kenapa perubahan nilai tukar mata uang, terjadi ?.  Padahal, barang yang dipertukarkan sama saja. Misalnya sekilo telur banyaknya tetap 16 butir.  Akan tetapi, setelah beberapa tahun untuk membeli 16 butir telur, harganya berubah. Dengan harga mata uang kertas yang sama, kerap sekali semakin sedikit jumlah telurnya.

Kemana selisih atau perbedaan barang itu perginya ?. Siapa yang terima, menikmati dan meraih laba ? Dan siapa pula yang kian miskin papa dan merana lantaran sistem ini ?.

Sumber : https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2255850937989365/

Senin, 11 Februari 2019 14:34

OPINI : "HIKMAH"

Oleh : Dr. Fuad Madarisa

(10/01/2019) Ini kerap terjadi. “Tugas (produk) selesai, namun (proses) pemahaman/pengetahuan mahasiswa belum memadai. Bagaimana menjemput kesenjangan pemahaman, meski tugas sudah terlaksana ?. Apa yang hilang dalam proses tersebut ?. Hikmah !.

Ibrahim Kalin menyebutkan, perlu menelaah peran ‘meaning/ makna’ ketika hendak merajut ‘pengetahuan’. Kuncinya, menghindari bertanya ‘apa’. Akan tetapi memulai dengan soal ‘kenapa’. Hal ini menuju pada wujud dari hikmah/ wisdom/ bijak/ elok. Juru bicara presiden Turki itu mengutip bahwa; ‘akar kata hikmah berarti mencegah dan menghentikan’. Hal ini termasuk tindak antisipasi terhadap dungu, ketidakadilan, pelecehan, memandang enteng dan planga-plongo. Elok dan bijak sebagai padanan hikmah, mencegah dua hal; ‘kekeliruan epistemologi dan kejahatan moral’.

Hikmah mencakupi pengetahuan, keadilan, kebenaran, bahagia dan sejahtera. Pengetahuan yang membawa pada ke-elok-an, menggabungkan ‘pengertian dengan kebaikan’. Antara teori dengan praktek. Raso jo pareso. Sehingga orang yang bijak (hakim) mesti bertindak atas dasar pemahaman yang mendalam dan demi ke-elok-an/ perbaikan.


Ada pendapat bahwa, hikmah sebenarnya watak dari Tuhan. Jiwa manusia – yang takkan pernah mati dan memang dititipkan Allah saat usia kandungan 4 bulan 10 hari – cenderung menyukai hikmah. Dengan begitu bijak, elok dan kebaikan bermakna mengetahui ‘realitas sesuatu’ dan bertindak sesuai dengan dan untuk ke-elok-an itu. Maka, ‘Tuhan !, tidak sia sia Engkau menjadikan segala ‘sesuatu’ nya.

Pada saat etika dan budi pekerti hilang, dan tinggal sekedar interpretasi dari ilmu, maka ini merupakan suatu filsafat yang jahat. Sebaliknya kajian filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi mesti diselenggarakan secara terpadu.

Ketika era milenial dan digital – fase teknologi 4.0 – maka, kelimpahan informasi meraja lela. Kehilangan hikmah/ ke-elok-an di-era itu, berarti kehilangan eksistensi diri. Maka, sudah tibakah saatnya kita kembali pada cara berfikir terpadu ?. Berjuta data, tidakkan berarti apa apa. Kecuali mengerucut pada hikmah/ makna yang mendalam. Tak lupa pula, dalam menatap ‘kerakyatan yang di pimpin oleh HIKMAH, kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan’, bukaan ?.

Sumber : https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2243227152585077/

Senin, 11 Februari 2019 14:32

OPINI : "BAZNAS"

Oleh : Dr. Fuad Madarisa

(03/01/2019). Baznas adalah kependekan dari badan amil zakat nasional. Satu lembaga yang menfasilitasi perbaikan nasib kaum miskin dan orang orang terlantar. Termasuk merehabilitasi pasca bencana.  Bentuk fasilitasi, diantaranya ialah paket bantuan ternak kambing; dua ekor betina dan seekor jantan. Tentu, buat keluarga kategori miskin. Contohnya seperti di Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat.

Secara teknis, kambing bisa beranak tiga kali dalam dua tahun. Kecuali pada anak pertama, seterusnya kambing kerap beranak kembar. Pendekatan yang berbasis pada keluarga merupakan inti fasilitasi bagi penerima manfaat. Dengan begitu, usaha kambing dapat dikelola oleh semua anggota keluarga; anak anak dan perempuan. Secara sosial budaya, dua sumberdaya (anak dan harta) memang dimiliki oleh wanita (matrilinial). Keadaan topografis daerah yang bergelombang, berbukit, dan gunung (yang tidak datar), relatif cocok dengan ternak kambing.

Begitulah, seputar lima tahunan, satu keluarga di nagari Andaleh telah memelihara 56 ekor ternak. Ini sebuah perubahan atau transformasi nyata. Oleh karena, terjadi pindah kategori; dari miskin menjadi kaya. Dari tiada, menjadi berpunya. Dari penerima; tangan dibawah kepada (semestinya) pemberi; tangan diatas. Sesuai standar, punya 40 ekor kambing sudah wajib berzakat dalam kurun waktu satu tahun. Jadi keluarga penerima paket/manfaat, mesti melakukan transformasi menjadi pemberi paket/ manfaat. 

Soalnya ialah bagaimana proses perubahan mental psikologis berlangsung ?. Ranah afektif (kemauan) dari tiga aspek penilaian Bloom, pada keluarga penerima manfaat. Apa saja langkah kerja fasilitasi yang perlu dilakukan baznas ?. Tidak dalam bentuk teknis memelihara kambing, tetapi proses perubahan mental spiritual. Semacam transformasi dari ‘tangan dibawah menjadi tangan diatas’. Dengan demikian tersedia satu standar kerja untuk direplikasi /diulangi ditempat lain. Sebuah SOP (standard operating procedure) yang bertolak dari bukti nyata. Skim atau alat untuk keluar dari garis kemiskinan. Bukankah ini bisa menjadi judul kajian setingkat pascasarjana ?.

Sumber: https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2238572086383917/

Senin, 11 Februari 2019 14:28

OPINI : "PANGAN"

Oleh : Dr. Fuad Madarisa

(24/01/2019) Hidup sehat dan sejahtera menjadi harapan dari semua anggota keluarga. Sesuai (Q15:45-48) diantara indikasi hidup sejahtera ialah; (a) air dan pangan yang berkecukupan (b) bekerja dengan damai dan aman; (c) semangat tetap menyala.

Untuk merasakan hidup sejahtera, kesehatan perlu terjaga. Kemudian pendidikan mendukung perbaikan kemampuan sumberdaya manusia. Hal ini bermuara pada kapasitas lembaga. Disini, pengenalan bioteknologi mempercepat kehadiran solusi masalah pangan. Tentu, sepanjang, adanya dukungan lembaga. Sejatinya saling menghidupi antara lembaga dengan bioteknologi. Itulah, hasil kajian Belfer Center di Universitas Harvard oleh Calestous Juma. Seorang mantan wartawan, asal Kenya.

Rangkaian perhatian pertama, ialah kecukupan air dan pangan. Dalam the guardian, Hannah Gould (2014) menulis sepuluh aspek bagi keberlanjutan pertanian. Khusus kondisi mikro, antisipasi kesediaan pangan, melibatkan tiga hal. Pertama, mengolah dedaunan yang mampu meningkatkan produksi tanaman. Ada tumbuhan yang mampu mencengkram nitrogen dalam tanah. Kemudian, melindungi tanaman terhadap gangguan angin dan erosi air. Akhirnya menyuburkan lahan melalui pupuk organik. Pada banyak contoh, hal ini bisa menambah produksi sampai 2x lipat.

Kedua, petani peternak berskala usaha kecil amat penting untuk keamanan pangan. UMKM memainkan peran utama menjaga kebutuhan makanan pokok. Disamping itu tiap keluarga perlu menyediakan cadangan bahan pangan. Setidaknya untuk meraih indikasi kedua dari bahagia dan sejahtera; ‘bekerja dengan aman dan damai’.

Ketiga, keluarga diperkotaan perlu menyesuaikan dengan kondisi tempatan. Dilahan sempit, perlu mengurangi kebutuhan yang tidak esensil. Mereka bisa mengolah limbah. Setidaknya untuk tanaman sayur dan buah.  

Agar semua upaya terlaksana, maka semangat kuat, yang senantiasa menyala. Dengan begitu tiga indikasi hidup sehat dan sejahtera dapat diwujudkan. Apalagi untuk menatap keDEPAN, yang nampaknya cukup RISKAN. Air dan pangan buat keluarga mesti bisa dijaga. Jadi, sesuai aturan, selama TIGA BULAN, perlu siap siaga, bukaan ?.

Sumber: https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2251888841718908/

Senin, 11 Februari 2019 14:26

OPINI : "KAMBING"

Oleh: Dr. Fuad Madarisa

(27/01/2019) Posisi dan peran kambing ditengah masyarakat cukup dilematis. Selain positif, kerap kesan bertendensi negatif. Memang ada yang berfaedah, seperti bulat tahi kambing dan susu kambing (obat). Tetapi, sejumlah istilah membuat ternak kambing menjadi ‘berjarak’ secara psikis. Misal; “kambing hitam (penanggung beban derita), bau kambing (tengik tidak disukai), kandang kambing (centang perenang), dan makan kambing (memilih yang muda dan enak saja)”.

Lebih dari itu gulai kambing juga bermakna ganda. Kesan tinggi lemak, pemicu sakit. Dilain pihak, kecuali bulan puasa, gulai kambing banyak peminat pada hari Jumat. Tentu, ada ‘pemahaman’ yang berlangsung dinamis ditengah masyarakat. Kenapa ada prilaku seperti itu.

Realitas ini perlu dikaji dengan pembandingan kepada hasil uji labor. Antara persepsi masyarakat terhadap produk dari ternak kambing dengan fakta kandungan unsur produk itu sendiri. Jadi, beternak kambing menghadapi stigma pengembangan.

Padahal struktur sosial dan ekonomi, usaha kambing relatif aman. Ia berada dalam genggam dan pengendalian tingkat lokal. Apalagi secara teknis, beternak kambing cepat siklus produksinya. Kambing bisa beranak tiga kali dalam dua tahun. Sesudah yang pertama, kerap beranak kembar. Kambing relatif jinak dan bisa dibawah kendali wanita dan anak anak. Kambing tidak membutuhkan lahan dan kandang yang luas. Jadi, modal usaha lebih sedikit ketimbang ternak besar. Kondisi begini lebih leluasa mengembangkan usaha. Keadaan yang relatif cocok dengan kondisi landscap Sumatera Barat.

Soalnya ialah pendekatan pengembangan. Memang, perlu transformasi kepada ‘memperluas pasar’ ketimbang ‘mendorong produksi’ selama ini. Sehingga, daya tarik pasar yang menghela bagi pembenahan pengelolaan kambing. Celakanya, ada pada stigma pengembangan ternak kambing diatas. Padahal, nabipun juga pernah memelihara kambing.

Maka, paket cerdas melibatkan kolaborasi para pihak perlu dicermati. Seperti: pastikan skim ternak kambing bagi pemulihan bencana yang berkolaborasi dengan BNPB. Paket ternak kambing mengatasi kemiskinan, kerjasama dengan Baznas. Pengolahan kambing menjadi produk kuliner yang khas, sebagai ikon parawisata. Akhirnya, simak kambing Aqiqah dan Qurban, sebagai teladan. Jadi perlu promosi dan kolaborasi yang sinergis – baik kedalam maupun keluar – bukaan ?.

Sumber: https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2253524334888692/

Senin, 11 Februari 2019 14:23

OPINI : "ASUH"

Oleh: Dr. Fuad Madarisa

(03/02/2019) Adanya sate dari daging babi di usaha KMSB Simpang Haru, Padang Timur ternyata tepat. Baik temuan lapangan (Padek 30/01/2019), maupun hasil uji labor sampai pada kesimpulan; ‘spesies babi positif’. Jejaring rantai pasok daging, yang juga disigi, kian menguatkan. Malahan, tempo dan sebaran daging semakin mengkhawatirkan (Padek 31/01/2019).

Tapi, pemerintah kota melalui koordinasi lintas OPD telah sigap dan tidak gegabah bertindak. Tentu untuk menjaga suasana agar kondusif. Terima kasih !. Soalnya ialah, bagaimana mencegah dan merehabilitasi kasus ini ?. Apalagi efek ikutannya melibatkan usaha kuliner dan wisata halal. Intinya kesan negatif, penurunan omzet, peluang kerja dan kesejahteraan. Celakanya, dampak pada parawisata lantaran tiket pesawat mahal dan bagasi berbayar belum reda. Bertubi persoalan menimpa.

Lalu ?. Kita perlu agaknya mencermati pola “ASUH” (aman, sehat, utuh dan halal). Menurut undang undang peternakan dan kesehatan hewan (18/2009) yang sudah dirubah menjadi (UU 41/2014), ASUH terkait dengan pasal 58. Khususnya dua ayat pertama dari empat ayat yang ada.

Ayat (1) berbunyi; ‘Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardrisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.

Ayat (2) adalah; Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.

Dengan begitu, pemerintah memberikan layanan, pengawasan, dan pengaturan yang bermuara kepada rasa aman. Tentu, sesuai persyaratan higiene, halal dan sanitasi sebagai dasar jaminan bagi keamanan produk.

Akan tetapi sebagai konsumen dan pelaku usaha perlu cerdas. Tingkat kepedulian, hati hati dan kecermatan mesti dibenahi. Misalnya, memeriksa bau, bentuk, warna dan masa kedaluarsa. Indikasi kita tidak hanya pada pertimbangan selera. Enak, murah, lekas didapat dan cepat kaya. Melainkan juga pada keberlanjutan usaha, kepercayaan, kejujuran, peduli sesama dan agama. Ya, semacam pendekatan ‘communicative rationality’ dari Jurgen Habermas, bukaan ?.

Sumber: https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2257820297792429/

Senin, 11 Februari 2019 14:18

OPINI : "BERANI"

Oleh: Dr. Fuad Madarisa

(09/02/2019) Salah satu ciri masyarakat dunia ketiga bagi Freire adalah ‘bisu’ atau tidak berani. Selain tidak independen, mereka susah mengungkapkan gagasan. Padahal ini dasar dari ekonomi kreatif.  Apalagi dengan bahasa dan cara mereka sendiri. Jika ada yang tampil, kerap menggunakan kata dan bahasa orang lain. Sering pula seperti ‘sibisu bermimpi’.

Keadaaan ini, bagi pendeta berjubah merah itu, ialah sebuah ketertindasan. Kita harus tampil tanpa tedeng aling aling mengatasinya. Seringkali dunia pendidikan formal justru menyumbang bagi kebisuan itu. Disini kelebihan Freire, idenya menukik menjadi tindakan yang menyadarkan. Malah, Ivan Illich mencetuskan gagasan dengan keharusan untuk ‘bebas dari sekolah (de-schooling society)’. Pada posisi ini, perlu ‘andragogy’, ungkap Knowles.

Akan tetapi, bukankah sebenarnya M. Sjafei di INS Kayutanam, awal abad 20, telah merambah sekolah untuk menjadikan peserta didik bebas, berani dan independen. Sayang naskah tulisan Sjafei belum ditulis dengan bahasa internasional. Padahal kecemerlangan gagasan dan buah tangannya, tidak banyak beda. Soalnya ialah dari mana, berani untuk menjadi bebas, merdeka dan independen bisa diraih ?.

Ada dua model dalam hal ini. Pertama, Anwar Ibrahim, anggota parlemen dari Port Dickson Malaka, Malaysia. Setelah ia berliku dari penjara kepenjara. Ia mengutip surat Kahfi tentang pemuda yang amat berani (Q 18: 13-14). Mereka adalah pemuda pemuda yang beriman kepada Tuhannya. Dan Kami beri mereka bimbingan dan banyak lagi. Kami kuatkan hati mereka, ketika mereka berdiri. Dan berkata; Tuhan kami adalah Tuhan pemilik langit dan bumi.

Kedua, Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki. Ia mengutip surat (Q 9:40) sebagai sumber keberanian. Ketika Muhammad dan Abubakar sedang dalam hijrah, di bukit Tsur, lantaran dipersekusi oleh kaum Quraish. ‘Janganlah bersedih hati, Sungguh Allah beserta kita”. Itulah sumber keberanian, yang ditransformasi menjadi semangat mandiri rakyat Turki. Tentu dengan kemampuan orasi dan bukti.

Apalagi bila disimpul dengan (Q 8;30). Ingatlah ketika kaum kafir membuat makar, persekusi, menangkap, membunuh dan mengusirmu. Mereka membuat rencana, Allahpun membuat rencana. Tapi Allah yang paling baik dalam membuat rencana !.  Jadi, mari berani menghindari penindasan yang memanfaatkan ketidak-tahu-an, bukaan ?.

Sumber: https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2262024607371998/

Padang (Faterna). Komunitas Nagari Taranak (KONTER) mengadakan sebuah diskusi dg topik Sate kondiak dan implikasinya terhadap perkembangan  peternakan Sumbar di XD HOUSE cafe, jl. M. Hatta no. 111, Kapalo Koto, Pauh Padang pada Kamis, 7 Februari 2019. Diskusi ini merupakan yang perdana di lakukan oleh KONTER. Pada kesempatan tersebut, Dekan Fakultas Peternakan Unand, Prof. James Hellyward, diundang untuk memberikan kritik dan saran sekaligus membuka acara tersebut. Acara dihadiri Perwakilan dari Kadisnakeswan Sumbar, Perwakilan Disperindag, Anggota DPRD Kota Padang, Dosen Fakultas Peternakan Unand, owner Sate KMS, Pusat Kajian Peternakan dan Perikanan Unand, LPPOM MUI, BEM KM Unand, BEM KM Faterna, HIMAPET, Mahasiswa HMI, Asosiasi dan pemerhati Peternakan. 

Berita terkait sudah dipublikasikan pada media cetak, seperti lampiran berikut :

Padang (Faterna). Para Dosen Purna Tugas Fakultas Peternakan Universitas Andalas mengunjungi Teaching Farm yang ada di UPT Fakultas Peternakan Universitas Andalas kampus Unand Limau Manis Padang pada Minggu, 10 Februari 2019. Kedatangan para dosen purna tugas faterna tersebut berhubungan dengan datangnya beberapa sapi bantuan Wakil Presiden Republik Indonesia ke Fakultas Peternakan Universitas Andalas dan hasil kerjasama dengan PT. Charoen Pokphand Indonesia berupa kandang Close House kapasitas 24000 ekor.

Jenis sapi bantuan yang datang yaitu sapi simmental dan sapi lokal (sapi pesisir). Sapi bantuan Wapres RI untuk Faterna Unand sebanyak 25 ekor terdiri dari :
1. Simental jantan      =  3 ekor
2. Simental betina      =  5 ekor
3. Sapi Pesisir jantan   =  2 ekor
4. Sapi pesisir betina   = 15 ekor

Para dosen purna tugas menikmati kunjungan tersebut terlihat dari senyum yang terpampang di raut wajah mereka. Kedepannya para dosen purna tugas menitipkan perjuangan pendidikan peternakan ke generasi sekarang untuk tetap berupaya mengembangkan peternakan demi kemajuan bangsa. Dekan Fakultas Peternakan, Prof. James Hellyward, menyampaikan terima kasih kepada dosen purna tugas Faterna atas kunjungan yang telah dilakukan dan mendoakan semoga para sesepuh pejuang pendidikan Faterna tersebut selalu dalam keadaan sehat Wal'afiat.

Padang (Faterna Unand). Sebanyak 25 ekor Sapi Bantuan Wakil Presiden Republik Indonesia telah sampai di Fakultas Peternakan Universitas Andalas pada Sabtu, 9 Februari 2019, pukul 21.00 WIB. Sapi-sapi tersebut dibawa dari BPTU-HTP Padang Mengatas Payakumbuh ke UTP Farm Experience Fakultas Peternakan Kampus Unand Limau Manis Padang. Proses pengangkutan berlangsung dari pukul 13.00 WIB menggunakan truk sapi dan di kawal oleh Voorijder dari Pihak Kepolisian untuk keamanan selama perjalanan.

Sapi bantuan Wapres RI untuk Faterna Unand sebanyak 25 ekor terdiri dari :
1. Simental jantan      =  3 ekor
2. Simental betina      =  5 ekor
3. Sapi Pesisir jantan   =  2 ekor
4. Sapi pesisir betina   = 15 ekor

Bantuan sapi ini merupakan tindak lanjut hasil pertemuan Dekan Faterna Unand Prof. James Hellyward dengan Wakil Presiden RI yang bernama lengkap Dr.(H.C.) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla pada tahun 2017. Bantu sapi ini diharapkan dapat digunakan oleh seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan Universitas Andalas, baik dosen maupun mahasiswa, untuk media pembelajaran dan penelitian.

Kedepannya diharapkan dengan bantuan ini, Fakultas Peternakan Universitas Andalas dapat melaksanakan amanat Wapres RI dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional terutama terhadap penyediaan sapi unggul (Simmental) dan sapi lokal (sapi pesisir) untuk wilayah sumatera bagian tengah. Sapi Simmental sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Sumatera Barat dan menjadi unggulan oleh peternak-peternak lokal bahkan dinas-dinas terkait sudah membuat acara rutin tahunan seperti kontes ternak yang bertujuan untuk memperagakan sapi-sapi hasil peliharaan masyarakat yang memiliki bobot teritinggi. Sedangkan Sapi Pesisir, merupakan plasma nutfah Sumatera Barat yaitu sapi lokal yang berasal dari daerah Pesisir selatan, yang kualitasnya tidak kalah sama sapi Bali.