Oleh: Dr. Fuad Madarisa
(03/02/2019) Adanya sate dari daging babi di usaha KMSB Simpang Haru, Padang Timur ternyata tepat. Baik temuan lapangan (Padek 30/01/2019), maupun hasil uji labor sampai pada kesimpulan; ‘spesies babi positif’. Jejaring rantai pasok daging, yang juga disigi, kian menguatkan. Malahan, tempo dan sebaran daging semakin mengkhawatirkan (Padek 31/01/2019).
Tapi, pemerintah kota melalui koordinasi lintas OPD telah sigap dan tidak gegabah bertindak. Tentu untuk menjaga suasana agar kondusif. Terima kasih !. Soalnya ialah, bagaimana mencegah dan merehabilitasi kasus ini ?. Apalagi efek ikutannya melibatkan usaha kuliner dan wisata halal. Intinya kesan negatif, penurunan omzet, peluang kerja dan kesejahteraan. Celakanya, dampak pada parawisata lantaran tiket pesawat mahal dan bagasi berbayar belum reda. Bertubi persoalan menimpa.
Lalu ?. Kita perlu agaknya mencermati pola “ASUH” (aman, sehat, utuh dan halal). Menurut undang undang peternakan dan kesehatan hewan (18/2009) yang sudah dirubah menjadi (UU 41/2014), ASUH terkait dengan pasal 58. Khususnya dua ayat pertama dari empat ayat yang ada.
Ayat (1) berbunyi; ‘Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardrisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
Ayat (2) adalah; Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.
Dengan begitu, pemerintah memberikan layanan, pengawasan, dan pengaturan yang bermuara kepada rasa aman. Tentu, sesuai persyaratan higiene, halal dan sanitasi sebagai dasar jaminan bagi keamanan produk.
Akan tetapi sebagai konsumen dan pelaku usaha perlu cerdas. Tingkat kepedulian, hati hati dan kecermatan mesti dibenahi. Misalnya, memeriksa bau, bentuk, warna dan masa kedaluarsa. Indikasi kita tidak hanya pada pertimbangan selera. Enak, murah, lekas didapat dan cepat kaya. Melainkan juga pada keberlanjutan usaha, kepercayaan, kejujuran, peduli sesama dan agama. Ya, semacam pendekatan ‘communicative rationality’ dari Jurgen Habermas, bukaan ?.
Sumber: https://www.facebook.com/100006934419129/posts/2257820297792429/